Item terkait berdasarkan kata kunci pencarian Anda akan dicantumkan di sini.

Beranda>For Employer > 5 Mitos Job Burnout, Percaya?
For Employer

5 Mitos Job Burnout, Percaya?

Karina

Maret 01 • 7 menit membaca

Minggu malam sudah menjelang. Anda mulai merasa uring-uringan dan takut untuk menyongsong pagi di hari Senin. Ada perasaan negatif yang menyeruak ketika otak Anda memikirkan lima hari kerja yang sudah menunggu di depan mata ketika Senin tiba. Dulu, Anda merasa sanggup dan selalu semangat dalam menyambut hari Senin beserta pekerjaan yang ada. Tapi, sekarang, ada sesuatu yang hilang dan membuat Anda terseok-seok dalam menyambut Senin dan pekerjaan. Namun, Anda tidak memiliki pilihan untuk mengambil cuti atau malah berganti pekerjaan.

Jika skenario di atas sering terjadi pada Anda, bisa jadi Anda sudah terjebak dalam job burnout. Seperti yang sudah dijelaskan dalam artikel-artikel sebelumnya, job burnout adalah stres kronis yang terjadi akibat pekerjaan dan membuat Anda merasa terputus alias disengagement dengan pekerjaan atau bahkan rekan kerja Anda serta tidak dapat ditangani dengan baik.

 

Menurut studi dari Gallup tentang job burnout, dari sekitar 12,5 ribu pekerja yang menjadi responden, 48 persen dari mereka mengaku lumayan sering terjebak dalam kondisi job burnout, dan 21 persen lainnya mengaku sering terjebak dalam kondisi job burnout. Tujuh persen lainnya mengaku sedang atau selalu terjebak dalam kondisi job burnout.

Resiko untuk terkena job burnout dapat naik signifikan jika pekerja sudah bekerja selama 50 jam hingga 60 jam dalam seminggu.

 

Untuk menyelesaikan dan keluar dari jebakan job burnout ini, tentu saja pekerja harus melakukan hal ekstra dan menyadari terlebih dahulu bahwa dirinya terjebak dalam burnout. Sebelum itu, ada beberapa mitos tentang job burnout yang harus dipatahkan:

1. Hanya orang lemah yang burnout

Tidak ada kata lemah untuk orang yang terjebak burnout. Anda bukan orang yang lemah dari karena terjebak burnout.

Atasi perasaan lemah ini dengan memikirkan dampak yang akan dihasilkan jika Anda membuat perubahan di pekerjaan Anda. Lewat mengetahui dampak yang dihasilkan dari perubahan yang Anda buat, Anda dapat mengatasi perasaan lemah tersebut. Anda juga bisa atasi perasaan lemah Anda dengan membantu orang lain. Lewat membantu, Anda melepaskan hormon yang dapat membuat Anda bahagia dan tidak merasa “lemah”.

2. Anda hanya butuh liburan untuk atasi burnout

Ini mitos cara mengatasi burnout yang sudah mendarah daging sejak lama. Faktanya, liburan tidak akan membantu Anda menyelesaikan burnout yang sedang dialami.

Sebuah penelitian dari Journal of Applied Psychology menyebut bahwa liburan hanya akan mengatasi burnout sementara. Sekembalinya Anda dari liburan, burnout akan kembali muncul dalam waktu seminggu hingga dua minggu setelah liburan selesai.

 

3. Burnout bisa sembuh dengan sendirinya

Tidak. Burnout tidak akan bisa sembuh sendiri jika tidak ditangani dengan usaha. Justru, semakin Anda diamkan kondisi burnout Anda, semakin Anda akan terjebak dalam lingkaran burnout.

Burnout merupakan cara diri Anda memperingatkan Anda akan ancaman-ancaman yang akan menyerang Anda, yaitu kesehatan fisik dan mental. Jika Anda tiba-tiba merasakan perasaan apatis dan negativitas, itu bisa jadi tanda-tanda diri Anda sedang memperingatkan bahwa ada ancaman yang bisa mengganggu Anda.

 

4. Ubah hidup untuk bangkit dari burnout

Terjebak kondisi burnout dan usaha untuk keluar dari burnout tidak membutuhkan Anda untuk resign dari kantor.

Anda hanya perlu untuk membuat batasan untuk diri Anda sendiri dan pekerjaan serta beristirahat untuk mengumpulkan kembali energi dan membangun kembali kekuatan Anda untuk menangkal stres. Jika beristirahat tidak memungkinkan, Anda bisa mencoba job crafting, yaitu cara untuk mengatur kembali pekerjaan Anda agar lebih fleksibel dengan keadaan Anda.

5. Burnout = depresi

Burnout dan depresi memang saling berkaitan dalam beberapa aspek. Menurut hipotesis dari penelitian yang sudah ada, 20 persen dari kasus burnout memang dapat ditemukan kaitannya dengan depresi. Namun, 80 persen dari kasus burnout yang ada, tidak ada kaitannya dengan depresi.

Burnout merupakan kondisi permasalahan kesehatan mental yang kompleks. Dampak dari burnout tidak selalu berakhir depresi, namun sering menjadi “pintu” bagi kondisi permasalahan kesehatan yang lain. Bisa jadi dampak burnout untuk seseorang adalah kesehatan fisiknya terganggu, ada pula yang hormon tubuhnya jadi terganggu. Ada yang terkena burnout jadi sering terkena serangan panik.

Penting untuk diketahui, resiko untuk terjebak dalam job burnout dapat menurun dengan signifikan jika pekerja merasa terinspirasi, termotivasi, serta didukung dalam melakukan pekerjaannya. Selain itu, pekerja yang mendapat motivasi, inspirasi, dan didukung oleh rekan serta atasannya akan tidak akan merasa stres dan tertekan dalam bekerja. Kesejahteraan dan kesehatan mereka pun lebih terjamin dan mereka lebih bahagia dalam bekerja.

 

CTA

Artikel dilansir dari Fast Company, Psychology Today, dan Headspace.

Bagikan via:

Tentang Penulis

Hello, my name is Karina and I work as a freelance contributor at Kalibrr. I enjoy reading self-improvement books and working out. Lebih Lanjut Karina

Komentar (0) Kirim Komentar

Belum ada komentar yang tersedia!