Stalking Media Sosial Kandidat Saat ‘Dating’, Apa Faedahnya?
Bukan rahasia umum jika kehidupan manusia ‘zaman now’ begitu berdampingan dengan dunia maya. Banyaknya social media atau media sosial mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari menjalin koneksi, media untuk eksplorasi diri, mata pencaharian, hingga sumber informasi.
Jika melihat kembali modern recruitment, adanya media sosial tentu menjadi sebuah benefit bagi recruiter untuk mengumpulkan informasi maupun melakukan verifikasi terkait kandidat yang akan direkrut. Ibarat akan dating dengan calon pasangan, bukankah akan sangat menyenangkan untuk ‘stalking’ media sosial calon pasangan terlebih dahulu? Selain untuk background checking dan meramal tingkat kecocokan, hal ini juga sangat efektif sebagai bekal bahan diskusi ketika bertemu.
Kecenderungan dalam menggunakan media sosial sebagai personal space seringkali memberikan gambaran diri kandidat dari sudut pandang lain. Oleh karena itu, bukankah ini adalah kesempatan yang baik untuk melihat kandidat point of view lain di luar dari segala yang tercantum di CV-nya?
Baca Juga: Cara Jitu Merekrut Kandidat Berkualitas Melalui Media Sosial
Lantas, apa saja sih yang bisa di cari tahu atau stalk dari media sosial kandidat? Apa faedahnya? Here we go!
-
Karakter
Sudah rahasia umum bahwa salah satu indikator dalam proses seleksi adalah karakter kandidat, yang juga relevan dan berdampak pada berbagai aspek seperti karakter tim, karakter pekerjaan, serta budaya perusahaan. Oleh karena itu, stalking media sosial kandidat adalah salah satu cara yang dapat digunakan dalam menggali karakter kandidat di luar dari yang dituliskan di CV atau ditampilkan dalam proses interview.
Penilaian karakter ini dapat dilihat berdasarkan tulisan maupun gambar yang dibagikan oleh kandidat di media sosialnya. Apakah konten yang dibagikan berupa positive vibes yang memotivasi? Jika iya, hal ini dapat dikaitkan dengan sikap yang nantinya akan ditampilkan dalam lingkungan kerja. Dan bukan tidak mungkin juga, hal tersebut mengindikasikan growth mindset, optimisme, dan potensi kandidat untuk menjadi pemimpin yang baik dalam menggerakkan tim-nya kelak.
Apabila konten yang dibagikan mengandung kata-kata kasar, provokatif, atau SARA, bukan tidak mungkin jika hal itu akan menimbulkan chaos dalam lingkungan kerja nantinya bukan?
Sama halnya dengan cara kandidat dalam merespon komentar-komentar di media sosialnya yang juga dapat mencerminkan cara kandidat dalam bersosialisasi dan problem solving. Apakah kandidat dapat berargumen secara diplomatis dan menghargai pendapat orang lain? Atau justru terdapat agresivitas ketika beradu argumen? Tentunya hal ini akan menjadi salah satu aspek penting mengingat adanya kondisi yang sama dalam dunia kerja, terutama dalam bernegosiasi atau menghadapi perbedaan pendapat nantinya.
Jika konten yang dibagikan seringkali berupa keluhan-keluhan, bisa jadi hal tersebut mengindikasikan adanya sikap pesimis dan kemungkinan kurangnya ketahanan kerja kandidat jika nantinya dihadapkan pada tekanan kerja.
Informasi-informasi seperti ini, tidak selalu tampak dalam proses interview bukan?
-
Critical thinking
Tidak jarang, konten yang dibagikan pun mampu mencerminkan cara berpikir kandidat. Misalnya saja konten yang berisi ide-ide strategis atau kritik-kritik membangun yang dibagikan secara terbuka. Apapun topiknya, baik isu sosial, ekonomi, politik, seringkali mampu menampilkan kerangka berpikir kandidat berdasarkan opini yang dituliskannya.
Selain kerangka berpikir kandidat, critical thinking kandidat juga dapat dinilai berdasarkan konten yang dibagikan. Apakah kandidat tersebut seringkali membagikan konten hoax tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu? Atau kandidat cenderung skeptis dan kritis dalam memilih konten yang ingin dibagikannya.
-
Network
Bagi beberapa pekerjaan, network adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam menunjang produktivitasnya. Sebagai contoh, apabila posisi yang dicari adalah sales manager yang memiliki target market cafe atau perhotelan, bukankah akan sangat baik jika kandidat tersebut memiliki banyak koneksi dengan cafe dan perhotelan, atau setidaknya familiar dengan bidang tersebut?
Oleh karena itu, tidak jarang recruiter melihat koneksi kandidat dari media sosial yang digunakannya. Selain dari LinkedIn, hal ini juga seringkali dapat digali dari konten yang dibagikan kandidat. Apakah kandidat sering menampilkan foto di berbagai cafe? Atau mungkin juga memiliki hobi kuliner yang membuatnya memiliki koneksi dengan para owner? Tentu hal tersebut akan menjadi nilai tambah bagi kandidat tersebut.
-
Potensi
Beberapa kandidat sering kali memiliki potensi lebih dari yang ditampilkan di CV-nya atau dalam proses interview, yang justru menjadi nilai tambah dalam pertimbangan proses seleksi. Misalnya, posisi yang dicari adalah recruitment specialist, dan terdapat dua kandidat yang memiliki kompetensi yang relatif sama. Ketika melakukan checking pada akun instagram kandidat, ditemukan bahwa salah satu kandidat memiliki sense of art yang baik berdasarkan feed media sosial-nya. Tentunya hal ini akan menjadi nilai tambah, mengingat terkadang dibutuhkan pembuatan poster iklan lowongan dalam proses rekrutmen. Sederhana, namun stalking pun bisa berfaedah bukan?
Tidak hanya itu, tulisan-tulisan yang dibagikan oleh kandidat pun seringkali bisa menjadi nilai tambah apabila relevan dengan posisi yang dilamar. Misal kandidat memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda dari yang dicari, namun memiliki knowledge atau kompetensi yang luas terkait posisi yang dilamar jika dilihat dari ulasan-ulasan pribadi yang dibagikannya. Bukan tidak mungkin, kandidat tersebut punya potensi untuk diproses lebih lanjut bukan?
Dengan mengetahui informasi dari media sosial yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam proses rekrutmen, recruiter pun dapat memilih untuk melakukan penilaian secara kualitatif maupun kuantitatif. Jika ingin dilakukan secara kuantitatif, recruiter dapat membuat standarisasi parameter yang dinilai dari akun media sosial pelamar, serta matriks penilaiannya. Hal ini berguna agar penilaian yang dilakukan lebih objektif dan mengurangi bias dalam penilaian. Berikut contoh parameter penilaian yang dapat dikembangkan oleh recruiter:
No | Indicator | Checking Point | Point |
1 | Posting tulisan/gambar yang memuat kata-kata kasar/provokatif | Tidak Pernah | 100 |
2 | Posting tulisan/gambar yang berisi keluhan-keluhan | Sering | 50 |
3 | Posting tulisan/gambar yang mengandung SARA | Pernah | 75 |
4 | Terlibat dalam perselisihan secara tertulis yang mengandung agresivitas | Pernah | 75 |
Total Score | – | – | 75 |
Note: Tabel di atas hanya berupa contoh, dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
Meskipun ada begitu banyak kemudahan dan manfaat yang ditawarkan oleh media sosial, bukan berarti hal ini tidak memiliki ‘efek samping’ loh! Ibarat senjata, media sosial bisa berfungsi positif untuk memperkaya informasi sebagai bahan pertimbangan, namun juga bisa berbahaya jika tidak disertai dengan kesadaran tinggi dalam penggunaannya.
Jika digunakan dalam proses rekrutmen, adanya media sosial ini juga berpotensi untuk membuat recruiter menjadi over judgement. Bukankah apa yang ditampilkan di media sosial acapkali adalah versi terbaik dari si pengguna? Atau bahkan pencitraan? Atau ada cerita lain yang tidak terkuak dari apa yang ditampilkan di sosial media? That’s why, meskipun sangat bermanfaat, perlu diingat bahwa stalking media sosial kandidat tidak bisa dijadikan satu-satunya indikator dalam mengevaluasi kandidat. Diskusi dan pertemuan secara langsung tentu saja sangat diperlukan sebelum memberikan judgement pada kandidat.
Baca Juga: Hindari ‘Salah Rekrut’ dengan Interview Hacks Ini!
Belum ada komentar yang tersedia!