Item terkait berdasarkan kata kunci pencarian Anda akan dicantumkan di sini.

Beranda>For Employer > 6 Faktor Pemicu Job Burnout
For Employer

6 Faktor Pemicu Job Burnout

Karina

Februari 22 • 6 menit membaca

Namanya kerja, pasti ada suatu waktu, di mana Anda merasa lelah, ingin beristirahat, ingin lari sejenak dari segala kegiatan rutinitas yang terasa memuakkan. Namun, apa daya, terkadang ada deadline yang harus diselesaikan sesegera mungkin. Ada meeting yang tidak dapat ditinggalkan. Ada tanggung jawab yang tidak dapat didelegasikan. Dan, terkadang, tanggal merah masih jauh menerawang. Mau tidak mau, Anda pun kembali terjebak dalam rutinitas yang semakin hari, semakin terasa berat untuk dijalankan.

Kejadian seperti ini yang lama-kelamaan bisa menuntut Anda ke dalam job burnout state alias kondisi burnout akibat pekerjaan. Menurut artikel dari Healthline, burnout adalah suatu kondisi kelelahan mental dan fisik yang dapat mengganggu kehidupan karir, pertemanan, hingga hubungan di dalam keluarga.

Burnout sendiri terjadi akibat stres yang berkepanjangan dan tidak tertangani dengan baik. Parahnya, burnout yang sudah mengakar lama, dapat menyebabkan depresi klinis. Selain depresi klinis, burnoutjuga dapat mengurangi rasa kepercayaan diri seseorang, hingga menyebabkan seseorang merasa selalu gagal dalam hal yang dikerjakannya.

 

Tidak mudah untuk mengetahui apakah seseorang sedang mengalami burnout. Bahkan, sulit bagi diri sendiri untuk mengetahui burnout yang sedang dialami. Orang yang terkena burnout pun sering membantah bahwa dirinya sedang burnout.

Namun, biasanya orang yang mengalami job burnout akan terlihat seperti tidak mampu untuk memberikan usaha terbaiknya lagi untuk melakukan pekerjaannya, dan bahkan terlihat malas untuk bergerak dari tempat tidurnya sekalipun, apalagi hari Minggu menjelang Senin. Mereka juga terlihat lebih hopeless dan pesimis dalam melihat masa depan.

Ada beberapa faktor pekerjaan yang dapat menyebabkan seorang pekerja untuk mudah terkena burnout:

1. Tuntutan yang tidak mungkin dijalankan

Ada pekerjaan yang walaupun sudah dijelaskan sedemikian rupa, sudah diusahakan sedemikain rupa, namun tetap tidak mungkin dijalankan. Pekerja yang memiliki tuntutan pekerjaan seperti ini rentan untuk terkena burnout akibat stres karena minimnya angka keberhasilan pekerjaan tersebut.

 

2. Kurangnya waktu untuk istirahat

Banyak pekerjaan dan industri pekerjaan yang menuntut agar pekerjanya selalu produktif tanpa mengenal waktu. Apalagi sejak kebijakan WFH dijalankan. Banyak pekerjaan yang bahkan harus diselesaikan sesegera mungkin, bahkan hingga larut malam. Pekerja pun jadi kurang memiliki waktu untuk istirahat. Jika, hal ini berlaku berkepanjangan, bukan tidak mungkin seorang pekerja akan terkena burnout akibat kurangnya istirahat.

 

3. Pekerjaan dengan resiko kegagalan tinggi

Pada dasarnya, normal bagi seorang manusia untuk melakukan sebuah kesalahan. Begitu pula dengan pekerja. Namun, ada beberapa pekerjaan yang memiliki tingkat resiko kegagalan yang tinggi dan fatal. Sebut saja pengacara dan pekerja medis. Dua jenis pekerjaan ini disebut memiliki tingkat job burnoutyang tinggi dibanding pekerjaan yang lain.

 

4. Kurangnya personal control

Sebagai seorang manusia yang ingin memiliki kontrol atas hidupnya, pekerja pun menginginkan kontrol penuh atas apa yang dikerjakannya. Pekerja menginginkan kebebasan untuk mengekspresikan kreativitasnya dan memecahkan masalah yang datang menghampiri. Jika pekerja merasa dihalang-halangi untuk mengontrol keputusannya akan pekerjaan, maka kemungkinan pekerja terkena job burnout akan semakin besar.

 

5. Leadership yang buruk

Seorang leader yang bisa menjadi pencegah burnout atau berkontribusi terhadap burnout pekerjanya. Jika leader tidak dapat menghargai dan memperlakukan pekerjanya dengan baik, maka leader tersebut dapat berkontribusi akan burnout yang dialami pekerjanya. Jika seorang leader dapat menghargai dan memperlakukan pekerjanya dengan baik, maka leader dapat mencegah pekerjanya terkena job burnout.

 

6. Komunikasi yang buruk

Komunikasi yang buruk dapat membuat sebuah pekerjaan atau masalah menjadi runyam. Seperti penjelasan akan pekerjaan yang kurang jelas, kurangnya komunikasi dua arah antara rekan kerja atau atasan-bawahan, atau kurangnya pengakuan atas keberhasilan pekerja.

Jika pekerja merasa berada di dalam faktor-faktor yang disebutkan di atas, ada baiknya Anda mengambil cuti sementara untuk memutus rantai stres dan burnout. Lewat cuti sementara, Anda bisa kembali memulihkan kesehatan mental untuk kembali beraktivitas seperti semula. Jika memungkinkan, ada baiknya Anda juga menyampaikan keluhan ini kepada HR atau atasan Anda. Bicarakan apa yang dirasa salah dalam pekerjaan dan budaya kerja yang ada.

Namun, jika burnout dirasa tidak membaik setelah Anda melakukan semua hal yang dapat dilakukan untuk memulihkan diri, ada baiknya Anda mencari pertolongan profesional, seperti konselor untuk mengatasi permasalahan.Artikel ini dilansir Very Well Mind, Healthline, dan MayoClinic.

Bagikan via:

Tentang Penulis

Hello, my name is Karina and I work as a freelance contributor at Kalibrr. I enjoy reading self-improvement books and working out. Lebih Lanjut Karina

Komentar (0) Kirim Komentar

Belum ada komentar yang tersedia!