Item terkait berdasarkan kata kunci pencarian Anda akan dicantumkan di sini.

Beranda>For Employer > Winning The Love-Hate Relationship With Millennials dan Gen Z Through Interview
For Employer

Winning The Love-Hate Relationship With Millennials dan Gen Z Through Interview

Karina

November 01 • 9 menit membaca

Siapa sih yang tidak mengenal millennials dan gen Z? Berbagai diskusi terkait millennials seringkali memicu pro dan kontra bagi sebagian orang. Pada era disrupsi ini, kedua generasi tersebut seringkali dipandang memiliki berbagai macam karakteristik negatif seperti manja, serba instan, kutu loncat, dan berbagai stigma negatif lainnya. Hal ini dikarenakan generasi tersebut dianggap terbiasa hidup dalam kemudahan dengan kemanjaan teknologi.

Namun di sisi lain, bukankah ini yang perusahaan butuhkan untuk bersaing di revolusi industri 4.0 dimana semuanya sudah serba digitalisasi dan otomasi? Karakteristik millennials dan gen Z yang tech-savvy, passionate, dan inovatif menjadi bekal yang dibutuhkan perusahaan untuk tetap bersaing dengan pengembangan strategi dan transformasi digital yang masif. Jika sudah begini, love-hate relationshipperusahaan dengan millennials dan gen Z tentu tidak bisa dihindari.

 

Selain itu, berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah populasi penduduk kategori generasi millennials dan gen Z mencapai lebih dari 50% dari total penduduk di Indonesia, sehingga generasi ini diasumsikan akan mendominasi industri dan lapangan kerja di Indonesia. Artinya, we have no choice but to embrace them!

Hence, beberapa perusahaan mulai terdorong untuk melakukan perubahan approach pada proses rekrutmen, demi bersaing dalam memikat hati millennials dan gen Z. Bahkan investasi secara finansial pun tidak segan dilakukan untuk mendukung effort para perusahaan dalam memenangkan millennials-gen Z talent war, lho.
Berbagai usaha seperti EVP (Employee Value Preposition), Employer Branding, dan penggunaan E-Recruitment mulai dijajal sebagai langkah awal ‘PDKT’. Namun, usaha ‘PDKT’ sejak awal proses rekrutmen tentu saja akan sia-sia jika tidak diimbangi dengan cara interview yang tepat.

Lantas, bagaimana sih cara merebut hati para millennials dan gen Z?

 

Jika dianalogikan dengan dunia sales marketing, tentunya marketer harus paham dengan kebutuhan market agar produk yang ditawarkan dapat menjawab kebutuhan pasar.

Well, artinya perusahaan pun wajib memahami kebutuhan atau hal-hal yang menjadi concern para millennials dan gen Z, agar dapat memenangkan love-hate relationship war ini. Dengan begitu, ada baiknya proses interview tidak hanya dilakukan semata-mata untuk menggali informasi dari kandidat, but give them more information related to their needs as well!

 

Bagaimana sih caranya? Here we go!

1. Build millennials-friendly communication style

Penggunaan bahasa dalam proses interview seringkali menjadi acuan kandidat dalam memproyeksikan culture dalam suatu perusahaan. Karakteristik millennials dan gen Z yang cenderung berorientasi pada equality dan non-formal menjadi tantangan tersendiri bagi interviewer. Oleh karena itu, interviewer pun perlu mengimbangi cara komunikasi yang sesuai dengan orientasi kandidat, agar tercipta kesan positif terkait perusahaan. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menggunakan gaya komunikasi semi formal yang tidak menimbulkan tekanan secara otoriter bagi kandidat. Dengan demikian, akan tercipta kesan kesetaraan antara interviewer dan kandidat yang membuat kandidat merasakan adanya kesesuaian dan penerimaan.

Penggunaan media komunikasi dan interview pun perlu dipertimbangkan, mengingat karakteristik generasi yang tech-savvy seringkali mengutamakan efisiensi dan pemanfaatan digital seperti video call interview atau pun interview by phone. Bukankah ‘nyambung’ atau tidaknya komunikasi merupakan indikator utama dalam menentukan kelanjutan proses PDKT?

2. Explain their growth opportunities

Berikan gambaran kesempatan untuk berkembang sejak awal, baik secara network, personal development, maupun career development. Jika pada generasi sebelumnya ‘bekerja’ dianggap sebagai ‘end goal’, berbeda hal nya dengan generasi saat ini yang lebih memandang bekerja sebagai ‘life experience’. Thus, mereka akan cenderung mencari kesempatan untuk memperkaya life experience-nya sebagai modal untuk berkembang pesat dalam waktu yang lebih singkat.

Berkembangnya era digital pun mempermudah mereka untuk mempertimbangkan kesempatan dari perusahaan lain, sehingga memberikan gambaran kesempatan untuk berkembang sejak awal akan menjadi poin lebih bagi perusahaan untuk memenangkan talent war.

3. Describe culture and value in your company

Millennials dan Gen Z tends to value company culture more than any other previous generation. Jika generasi sebelumnya mempertimbangkan gaji sebagai prioritas dalam memilih pekerjaan, millennialsdan gen Z seringkali lebih mengutamakan kesesuaian culture dan value dalam lingkungan kerja. Hal ini dikarenakan adanya kesesuaian culture dan value diasumsikan sebagai salah satu sumber kenyamanan yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas kerja. Hence, it would be great jika informasi terkait culture dan value ini bisa disampaikan sejak proses interview untuk attracting their interest.

4. Show them how far they will contribute to social impact

Seiring dengan berkembangnya kepekaan millennials dan gen Z terhadap lingkungan sosial, kesempatan untuk berkontribusi dalam social impact pun seringkali menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan oleh millennials dan gen Z. Mereka cenderung untuk berfokus pada strategic investments with the intention of positively impacting the world untuk meningkatkan perasaan fulfilled. Bahkan, berdasarkan survei yang dilakukan oleh TODAY, sebesar 60% dari 4.000 karyawan millennials mengungkapkan bahwa social responsibility memiliki peran yang signifikan dalam memilih tempat untuk bekerja. Hence, menceritakan terkait kesempatan apa saja yang dimiliki kandidat untuk dapat berkontribusi dalam social impact bisa menjadi salah satu ultimate power to attracting millennials and gen Z interest.

5. Give and ask them for feedback

Salah satu ciri generasi millennials dan gen Z adalah membutuhkan feedback untuk pengembangan dirinya secara profesional. Oleh karena itu, biasakan untuk memberikan feedback kepada kandidat di akhir interview, terkait aspek-aspek yang memerlukan improvement pada diri kandidat berdasarkan proses interview yang baru saja dilakukan.

Selain memberikan feedback, berikan kesempatan pada kandidat untuk mengajukan pertanyaan agar tidak menimbulkan uncertainty pada kandidat. Hal ini bertujuan sebagai tindakan preventif terkait potensi terbentuknya asumsi-asumsi tidak benar yang dapat menurunkan minat kandidat terhadap perusahaan.

 

Kalibrr di bulan Maret 2019 telah mengadakan riset yang berjudul “Indonesia’s Milennial Recruitment Guide” terhadap 500 kandidat millennials yang tersebar di Pulau Jawa. Ada berbagai insight menarik yang bisa didapatkan terkait perilaku millennials dan bagaimana cara terbaik dalam menyikapinya. Salah satu poin menariknya adalah saat ini kandidat millennials sangat ingin dimanjakan layaknya konsumen, sehingga hanya perusahaan yang dapat memberikan candidate experience terbaik dalam proses rekrutmenlah yang dapat memenangkan kandidat millennials and gen Z yang terbaik.

Thus, winning the love-hate relationship with millennials and gen Z through interview doesn’t always about the questions to ask, but be the answer of their needs. Pertanyaannya, apakah si interviewer siap untuk menjawab kebutuhan para millennials and gen Z di proses interview?

Bagikan via:

Tentang Penulis

Hello, my name is Karina and I work as a freelance contributor at Kalibrr. I enjoy reading self-improvement books and working out. Lebih Lanjut Karina

Komentar (0) Kirim Komentar

Belum ada komentar yang tersedia!