Peniti Karir Masa Depan: Digital Self-Marketer
Di masa depan, atau setidaknya di saat ini, peniti karir yang sukses adalah yang sepanjang waktunya sanggup membangun & merawat visibilitas dirinya di kalangan publik, lewat pemanfaatan teknologi komunikasi & media sosial.
Pertanyaannya, mengapa di jaman sekarang dan masa depan, visibilitas publik ini penting untuk mayoritas peniti karir?
Saya tidak sedang mengatakan bahwa komunikasi publik & media sosial adalah segalanya. Saya juga tidak sedang mengatakan bahwa komunikasi publik & media sosial lebih penting daripada jati diri atau kompetensi kita semua.
Yang saya coba katakan di sini adalah di era keterbukaan informasi ini, ketika kita “tidak terlihat & tidak terdengar” oleh publik, baik melalui teknologi komunikasi maupun melalui media sosial; akan ada kecenderungan Rekruter atau User “lebih segan” untuk merekrut kita, terutama untuk posisi-posisi yang memiliki kewenangan atau dampak besar dalam setiap pengambilan keputusannya.
Di era teknologi ini, keterbukaan dan transparansi adalah segalanya. Termasuk identitas kita sebagai seorang profesional.
Saya sepenuhnya setuju, bahwa ada cukup banyak peniti karir yang sudah sukses tanpa harus banyak tampil di hadapan publik atau di media sosial. Mereka dapat meraih sukses tanpa visibilitas publik, berkat adanya kompetensi sangat tinggi, kepemilikan keahlian khusus yang spesifik, atau jaringan koneksi kelas atas yang benar-benar solid.
Sayangnya, tidak semua peniti karir seberuntung itu. Tidak semua peniti karir memiliki semua kemewahan itu. Maka untuk itulah hadir teknologi komunikasi dan media sosial, agar kita semua tanpa kecuali, dapat mulai membangun visibilitas publik. Ini berlaku bagi kita semua, dari tingkatan umur berapa pun, tingkatan jabatan apa pun, dan tingkatan pengalaman seberapa lama pun.
Pertanyaan berikutnya, di manakah sarana atau media sosial yang paling tepat untuk kita semua, dalam membangun visibilitas publik yang solid? Nama yang terlintas pertama kalinya di benak kita tentunya adalah: LinkedIn.
Di artikel inilah saya akan terutama membahas aspek historis dan anatomi audience LinkedIn, sehingga kita semua dapat memiliki gambaran tentang bagaimana kita harus memposisikan diri, dan seperti apakah interaksi yang harus kita bangun bersama para netizen lainnya. Karena ketika kita berbicara tentang LinkedIn, maka kita bukan berbicara tentang sesuatu yang self-centered seperti layaknya media sosial lainnya, melainkan tentang sesuatu yang berhubungan dengan transparansi, kredibilitas, kebersamaan, dan engagement.
LinkedIn: Desentralisasi Kewenangan Rekrutmen
Beberapa dekade lalu, ketika proses rekrutmen masih dilakukan secara tradisional dan tersentralisasi pada fungsi HR / Rekrutmen; para pencari kerja, kandidat, dan peniti karir jarang sekali yang memiliki “akses langsung” ke kalangan User. Ini ditambah lagi dengan belum adanya teknologi komunikasi seperti saat ini, sehingga satu-satunya pihak yang berurusan dengan para kandidat hanyalah HR atau Rekruter.
Kita semua tahu bahwa yang sesungguhnya memegang keputusan akhir dalam proses rekrutmen adalah User, sebagai pihak yang kelak akan secara langsung berurusan dengan sang kandidat, ketika telah secara resmi menjadi karyawan. Umumnya HR / Rekruter bersifat sebagai pemasok data, insight dari sisi psikologi & mapping karakter, dan sejumlah pertimbangan teknis ketenagakerjaan. Kecuali jika sang User tersebut memang adalah si HR / Rekruter itu sendiri.
Disrupsi dalam dunia karir dan pencarian kerja terjadi ketika muncul Internet, teknologi komunikasi, dan satu media sosial baru yang secara spesifik memang diperuntukkan bagi kalangan profesional, yaitu LinkedIn.
Saya menulis artikel tentang LinkedIn tanpa kepentingan apa pun, selain agar kita semua dapat memanfaatkan LinkedIn sebagai leverage (daya ungkit) perjalanan karir kita di masa depan. Saya bukanlah endorser yang dibayar oleh LinkedIn. Faktanya, bahkan akun pribadi yang selama ini saya gunakan pun adalah yang Non-Berbayar, bukan yang Premium.
Namun bahkan dengan apa yang ada selama ini pun, saya telah membuktikan sendiri betapa powerful-nya LinkedIn bagi karir & visibilitas publik kita, jika kita memahami anatomi dan esensi penggunaannya.
Beberapa tahun sejak kemunculannya yang pertama kalinya di tahun 2003, LinkedIn telah menjelma menjadi media sosial berskala global yang terkenal dengan orisinalitasnya. Di LinkedIn, kita tidak dapat “memalsukan” jati diri dan interaksi kita. Kita tidak dapat membeli followers, tidak dapat membeli atau memanipulasi Like, Comment, dan interaksi lainnya.
Artikel atau pribadi dengan engagement rate tinggi di LinkedIn, pasti didasarkan atas konten-konten orisinil yang bermutu, dan oleh karenanya, LinkedIn dikenal sebagai media sosial yang paling sulit “ditaklukkan” oleh netizen secara umum.
Intinya, apa yang kita tampilkan dan lakukan di LinkedIn, “harus” dilakukan di atas fondasi jati diri yang asli, apalagi jika mengingat karakternya sebagai media sosial untuk kalangan peniti karir, profesional, dan korporat atau bisnis (B2B dan B2C). Setiap akun pribadi, juga “terikat” pada identitas pekerjaan, nama kantor, label jabatan, dan sejumlah atribut profesional lainnya. Kita menampilkan interaksi yang serampangan, maka nama baik perusahaan dan jabatan kita pun akan menjadi taruhannya.
Ini menjadikan LinkedIn sebagai lahan yang subur bagi mereka yang menyukai orisinalitas, keaslian jati diri, pertukaran gagasan, diskusi sehat yang santun dan konstruktif, penyerapan pengetahuan dan tren global, dan masih banyak hal positif lainnya.
Nampak mengintimidasi? Untuk sejumlah orang, kelihatannya demikian. Tapi karena karakter audience LinkedIn itulah, justru menjadikan LinkedIn sebagai lahan yang tepat bagi para praktisi rekrutmen dan juga kelompok-kelompok profesional lainnya, untuk nongkrong di situ.
Siapa sajakah para praktisi rekrutmen yang suka “nongkrong” di LinkedIn? Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, saat ini telah terjadi desentralisasi kewenangan dalam proses rekrutmen. Dulu, fungsi rekrutmen didominasi oleh kalangan HR / Rekruter. Namun saat ini, LinkedIn telah memperlihatkan pada kita semua bahwa setiap orang dapat terlibat secara aktif dalam proses rekrutmen.
Garis Besar Anatomi Audience LinkedIn – Berdasarkan Pengalaman Nyata
Mengenal sesuatu hal secara mendalam agar dapat memberikan dan menarik manfaat darinya, jelas membutuhkan pengetahuan anatomi yang baik. Seperti tubuh kita sendiri, dimana kita harus mengenalnya secara baik, agar mengetahui secara persis apa saja yang harus dilakukan atau jangan dilakukan terhadap tubuh kita.
Pertama kalinya saya membuat akun LinkedIn adalah pada tahun 2012. Namun saya baru aktif pada pertengahan 2017. Setelah melalui “perjalanan panjang & melelahkan” dalam membangun kekuatan akun LinkedIn, akhirnya saya dapat mengelompokkan jenis atau karakter para netizen LinkedIn yang tercakup dalam koneksi 1st Degree atau Followers, dalam kategori sebagai berikut:
-
Kategori Silent Majority, Silent Reader, atau Silent JobSeeker. Ciri utama kelompok ini adalah tidak memiliki kewenangan rekrutmen dan tidak menampakkan aktivitas. Tidak pernah menaruh Like, Comment, atau Share. Permintaan koneksi pertemanan yang datang ke mereka pun belum tentu digubris.
Umumnya, kelompok ini ada di LinkedIn karena sekedar ingin membaca pengetahuan atau tren terbaru, membaca insight dari sejumlah penulis aktif, berharap (secara pasif) ada Rekruter atau Head Hunter yang mendekati mereka dan menawarkan pekerjaan, atau mereka yang pernah membuat akun LinkedIn namun kemudian melupakannya (akun statis).
Termasuk di dalam kelompok ini juga adalah JobSeeker yang bisa saja tadinya aktif, namun tiba-tiba tidak aktif karena telah mendapatkan pekerjaan dan tenggelam dalam kesibukannya. Bisa jadi bahkan password aplikasinya pun telah dilupakan.
Populasi kelompok ini adalah yang terbesar. Secara garis besar, saya berani memperkirakan persentase kelompok ini adalah hingga 60%.
-
Kategori Bridge atau Jembatan. Ciri utama kelompok ini adalah tidak memiliki kewenangan rekrutmen, namun menampakkan aktivitas akun yang berarti dan berdampak positif bagi netizen lainnya.
Golongan Bridge biasanya tidak segan menaruh Like, Comment, atau Share pada artikel-artikel berkualitas atau pengumuman lowongan pekerjaan. Ada juga yang sesekali membuat konten artikel yang asli dari pemikiran mereka, namun frekuensinya tidak sering.
Dengan interaksi tersebut, mereka telah menjadi jembatan informasi lowongan pekerjaan dan artikel-artikel berkualitas, minimal bagi jaringan pertemanannya. Tidak jarang, mereka merekomendasikan individu di jaringan pertemanannya ketika ada suatu lowongan pekerjaan.
Sebagian individu dalam kelompok ini ada yang sedang dalam status pencarian pekerjaan. Namun karena aktivitasnya yang positif, mereka layak dilabeli sebagai Smart JobSeeker. Seringkali ada diantara mereka yang mendapatkan tawaran pekerjaan secara langsung dari Rekruter, atau mendapatkan pilihan karir yang lebih baik di perusahaan lain. Aktivitas yang selama ini mereka lakukan telah membuat mereka terpapar dalam “radar” pantauan para Rekruter (Kelompok 3) atau bahkan Decision Maker (Kelompok 5) di LinkedIn.
Secara statistik, dapat saya perkirakan, golongan ini ada sebanyak sekitar 20%.
-
Kategori Rekruter. Ciri utama kelompok ini adalah mereka memiliki kewenangan dan kepentingan untuk melakukan proses rekrutmen, namun bukan sebagai pemegang keputusan akhir. Untuk dapat memutuskan secara paripurna, mereka tetap harus bersinergi dengan User atau Klien.
Termasuk di dalam kategori Rekruter adalah sebagai berikut:
3a. Eksekutif Human Resources. Ada sejumlah institusi yang melabeli fungsi Human Resources (HR) dengan label Human Capital, People Operations, Sumber Daya Manusia, atau bahkan Modal Insani. Secara garis besar, fungsi mereka semua mirip, hanya berbeda di fungsi-fungsi tertentu berdasarkan jenis industri dan ragam perusahaannya.
Ciri utama kelompok eksekutif HR adalah mereka melekat pada suatu institusi, lembaga, atau perusahaan; sebagai karyawan. Mereka memiliki rentang golongan kandidat yang luas, dari mulai Fresh Graduate, Entry-Level, Mid-Level, Managerial (M-Level / Head), hingga Top Management(Direksi / Chief-Level).
Karena karakternya tersebut, eksekutif HR dapat lebih leluasa untuk melakukan proses rekrutmen, karena adanya sistem HR lengkap yang terdapat di institusi tempatnya bekerja. Umumnya eksekutif HR tidak segan merekrut para Fresh Graduate karena adanya sistem Management Trainee dan / atau People Development yang sudah mapan berjalan di organisasinya.
3b. Head Hunter. Berbeda dengan eksekutif HR, para Head Hunter (HH) biasanya bekerja untuk kepentingan klien, yang membutuhkan kandidat top grade bagi suatu posisi yang lowong dan sulit dipenuhi oleh eksekutif HR internal. HH tidak terikat sebagai karyawan dalam suatu perusahaan, melainkan sebagai konsultan eksternal.
Umumnya, rata-rata HH mengkhususkan dirinya bagi pencarian kandidat dengan tingkat jabatan Managerial atau lebih tinggi. Prinsipnya, semakin tinggi jabatan kandidat yang dapat mereka rekomendasikan ke klien dan akhirnya direkrut, maka semakin tinggi nominal pembayaran yang akan mereka terima. Namun beberapa kalangan HH tidak keberatan untuk juga mencarikan kandidat level Supervisor bagi kliennya. Semuanya kembali pada persetujuan di antara HH dan kliennya.
Karena HH terikat pada keharusan “menjual” kandidat ke pihak klien, maka HH berkecenderungan mencari kandidat top grade yang sudah berpengalaman matang dalam karirnya, memiliki rekam jejak karir yang stabil, dan memiliki sejumlah keahlian khusus lainnya.
Berbeda dengan HR yang terikat pada suatu institusi atau lembaga dengan sistem HR yang lengkap, HH tidak terikat pada kewajiban melakukan People Development atau Management Trainee pada sang kandidat yang telah dipilihnya. Oleh karena itulah, kandidat yang dibidik HH harus yang sudah matang, berpengalaman, dan “layak jual” ke hadapan klien, tanpa harus dipoles sana-sini lewat pelatihan.
Semakin pintar mencari kandidat yang terbaik dan semakin mudah “menjual” kandidat pada klien, maka HH tersebut akan semakin sejahtera. Oleh karena itu, selain HR, HH termasuk golongan yang aktif “berburu” kandidat di LinkedIn.
3c. Eksekutif atau perusahaan Outsourcing (OS). Secara garis besar sistem kerja, sebenarnya ada kesamaan antara HH dengan OS. Bedanya, HH terfokus pada kandidat secara individual atau grup kecil. Sedangkan OS fokus pada pencarian kandidat dalam jumlah banyak, biasanya di tingkatan jabatan Supervisor ke bawah.
Umumnya, eksekutif OS mencari para kandidatnya dari sumber-sumber informasi yang luas, karena statistiknya yang ada di tingkatan jabatan Supervisor ke bawah, atau fungsi pekerjaan Blue Collar, semisal Office Boy, Security, Operator, dan banyak fungsi pekerjaan lainnya.
Sejumlah OS melayani permintaan kandidat White Collar atau level jabatan Managerial dari kliennya. Karena itu, terkadang ada sedikit “irisan” fungsi antara HH dengan OS. Hanya berbeda di fokus pencarian kandidatnya dan status kekaryawanan sang kandidat.
HH lebih ke perantara, sehingga kandidat yang telah terjaring, langsung menjadi karyawan di perusahaan kliennya. Berbeda dengan di perusahaan OS. Kandidat yang telah terjaring biasanya dijadikan Karyawan Kontrak (PKWT) dari perusahaan OS tersebut. Jadi, yang menggaji karyawan itu adalah perusahaan OS. Klien hanya tahu beres & simple saja, dengan membayar sejumlah biaya jasa ke perusahaan OS itu, sesuai dengan penempatan sang kandidat di perusahaan klien.
Umumnya sistem OS ditempuh perusahaan yang tidak mau ribet dengan urusan ketenagakerjaan dan penggajian.
Secara karir, umumnya OS merupakan hal yang kurang difavoritkan oleh para peniti karir, mengingat status PKWT yang terkadang tidak pasti, dan faktor “prestise” yang kurang greget. Namun sebagai langkah awal karir, OS merupakan pilihan yang paling rasional, dibandingkan dengan lama menganggur.
Dengan terlebih dahulu bekerja di perusahaan OS dan ditempatkan di perusahaan klien, selalu terbuka kemungkinan kita direkrut sebagai karyawan tetap di perusahaan klien tersebut, atau ada kemajuan karir yang berarti setelah kita berpengalaman kerja sekian tahun.
Umumnya, perusahaan OS lebih suka menggunakan metode rekrutmen lewat Job Portal, Job Fair, atau langsung turun ke lapangan, jika membutuhkan karyawan Blue Collar dalam jumlah masif. Mereka nongkrong di LinkedIn biasanya justru untuk mencari klien. Namun bukan berarti mereka tidak mencari kandidat via LinkedIn. Selalu terbuka kemungkinan kemajuan karir yang baik ketika kita direkrut oleh perusahaan OS dan ditempatkan di perusahaan klien yang bona fide.
3d. User. Label “User” dapat bermakna luas, karena dapat mencakup berbagai fungsi pekerjaan dan tingkatan jabatan. Dalam konteks ini, User dapat menjadi referensi kuat bagi para kandidat yang aktif di LinkedIn, dan kebetulan tertangkap radar User.
Seorang User belum tentu memiliki kewenangan atas keputusan akhir proses rekrutmen. Cukup banyak User yang dalam memutuskan sesuatu, masih bersifat kolegial bersama pemegang otoritas yang lebih tinggi darinya. Namun Rekruter biasanya memprioritaskan para kandidat yang datang dari rekomendasi User.
Karena itulah, betapa pun mungkin User seringkali tampak kurang aktif di LinkedIn, namun sebenarnya keberadaan mereka tidak dapat kita abaikan. Selayaknya, mereka yang dalam posisi membutuhkan pekerjaan, membangun aktivitas positif di LinkedIn, dengan harapan agar aktivitas mereka itu terdeteksi oleh radar User.
User dapat juga bermakna sebagai individu yang sedang menjalankan project tertentu, dan membutuhkan pasokan produk, jasa, atau personil dalam kurun waktu tertentu. Keberadaan User semacam ini sangat berguna bagi mereka yang masih dalam posisi mencari kerja, namun memiliki sejumlah keahlian yang dapat dikontribusikan dalam suatu project tertentu dari sang User. Lumayan untuk tambahan uang saku atau biaya bertahan hidup.
Secara garis besar, saya perkirakan persentase kelompok Rekruter ini dapat mencapai 15%.
-
Kategori Enabler atau Aktivis (Non-Rekruter). Ciri utama kelompok ini adalah mereka tidak memiliki kepentingan atau kewenangan rekrutmen secara langsung, namun menampakkan aktivitas tinggi di LinkedIn. Para Enabler memiliki keterampilan untuk membangun konten orisinil yang menarik bagi para netizen lainnya.
Kalaupun para Enabler melakukan Share dari sumber lain yang bukan karyanya sendiri, biasanya mereka terampil untuk menambahkan opini atau insight yang menarik atas referensi / artikel tersebut, sehingga dapat mengundang diskusi konstruktif bersama para netizen.
Pertanyaannya, jika mereka tidak memiliki kewenangan rekrutmen atau tidak (selalu) sedang mencari pekerjaan, lalu untuk apa mereka aktif di LinkedIn?
Jawabannya bermacam-macam. Ada yang memang murni senang berbagi pengetahuan tanpa kepentingan apa pun, ada yang untuk membangun dan mempertahankan visibilitas Personal Brand-nya, atau ada yang sambil mengharapkan pinangan dari Head Hunter, HR, atau Decision Maker; demi perubahan karir yang lebih baik lagi.
Karena keadaanya tersebut, umumnya mereka melakukan aktivitasnya di LinkedIn secara tanpa beban atau tanpa ekspektasi tertentu. Ini justru yang menjadikan mereka lebih otentik, luwes, berpengaruh, dan dapat memunculkan kelompok netizen yang secara aktif dan loyal mengikuti pemikiran dan aktivitas mereka.
Ada juga yang akhirnya membentuk komunitas tertentu, melalui WhatsApp Group, Telegram Group, atau komunitas fisik yang sesekali atau secara periodik mengadakan acara pertemuan fisik.
Dari kelompok Enabler kita semua bisa belajar satu hal terpenting, yaitu: bangunlah visibilitas profesional dan Personal Brand kita di LinkedIn, di saat kita masih aktif bekerja. Membangun visibilitas profesional dan Personal Brand di LinkedIn di saat posisi kita sedang mencari pekerjaan dengan kondisi finansial yang tidak baik, bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan bagi kebanyakan orang. Diperkirakan, populasi kelompok Enabler dapat mencapai 4%.
-
Kategori Final Decision Maker. Inilah kelompok “paling elit”, yang jumlahnya paling sedikit, namun memiliki kewenangan penuh atas keputusan akhir proses rekrutmen. Di sketsa piramida anatomi netizen LinkedIn, kelompok Final Decision Maker menempati posisi di segitiga kecil paling atas, dengan angka populasi sebesar 1%. Maka dari itu, saya menyebut mereka yang berada di kategori ini sebagai “Kalangan 1%”.
Termasuk dalam kelompok ini adalah Owner perusahaan, Founder perusahaan, CEO perusahaan, Direksi atau Chief-Level, dan individu lain yang memiliki atau diberikan kewenangan akhir penuh dalam hal anggaran perusahaan dan proses rekrutmen.
Mereka belum tentu terikat dengan proses rekrutmen pada periode waktu tertentu. Bahkan bisa jadi, mereka tidak tahu persis posisi apa saja di perusahaannya yang sedang lowong. Namun ketika mereka sedang mencari posisi lowongan tertentu yang krusial dan berdampak besar, kalangan Final Decision Maker sangat mungkin terjun langsung untuk melakukan proses pendekatan kepada kandidat individual lain, dan langsung menawarkan suatu posisi beserta benefit yang melekat padanya.
Beberapa dekade lalu, ketika generasi Boomer dan Gen X angkatan awal masih banyak berkuasa di korporasi, rasanya jarang sekali Kalangan 1% ini terjun langsung untuk menawarkan sesuatu pada kandidat asing yang belum dikenalnya.
Namun di jaman sekarang, seorang netizen LinkedIn yang memiliki karakter, profil karir, atau kompetensi yang dilihat cocok bagi kebutuhan perusahaan; bukannya tidak mungkin akan secara langsung mendapatkan penawaran karir yang menarik secara langsung dari Kalangan 1%, tanpa melalui Rekruter dan tanpa melalui proses rekrutmen yang ribet seperti biasanya.
Apalagi dengan kemunculan banyak perusahaan startup yang biasanya di periode awal bisnisnya belum memiliki fungsi HR / Rekrutmen, umumnya pihak Chief-Level, Founder, atau CEO dapat “berkelana” di LinkedIn untuk merekrut talenta-talenta terbaik secara langsung.
Maka penting bagi suatu perusahaan membangun Employer Brand yang baik untuk dapat merekrut talent lewat social media. Namun, belum semua perusahaan aware dengan hal ini. Kalibrr melakukan survey dengan 400 perusahaan di Indonesia untuk mengetahui seberapa penting employer branding diimplementasikan di suatu perusahaan. Temukan informasi mengenai Employer Branding dari 400 perusahaan di Indonesia dengan mengunduh Kalibrr Insights ini.
Demikianlah adanya 5 kelompok audience di LinkedIn. Agar lebih mantap, saya berikan gambaran tersebut dalam grafis sederhana ini.
Perlu kita ingat bersama, bahwa angka persentase dan gambaran pembagian kelompok-kelompok ini bukanlah sesuatu yang statis dan eksak, melainkan sesuatu yang dinamis dan personal. Apa yang saya alami di LinkedIn, sangat mungkin berbeda dengan apa yang rekan-rekan lain alami. Semua ini saya paparkan, murni sebagai upaya saya untuk memudahkan penggambaran anatomi LinkedIn beserta pola interaksinya.
Berdasarkan anatomi ini, ketika kita berencana untuk membangun aktivitas di LinkedIn, ada baiknya kita putuskan terlebih dahulu, kita akan menjadi netizen di kelompok yang mana. Setelah itu, tentukanlah tujuan dan fokus komunikasi, akan diarahkan ke kelompok yang mana. Karena itu akan sangat mempengaruhi karakter dan corak komunikasi publik yang kita tampilkan, dan oleh karenanya, juga akan mempengaruhi hasil akhirnya.
Bagaimana cara kita selama ini dalam membangun narasi, berkomunikasi dengan sesama netizen, dan bagaimana sikap kita dalam menanggapi suatu isu atau pertanyaan; akan sangat menentukan konfigurasi lingkaran koneksi LinkedIn kita, beserta angka-angka persentasenya tersebut.
Membangun Aktivitas Positif di LinkedIn
Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, saya tidak langsung aktif di LinkedIn. Butuh waktu dari sejak pertama kalinya saya membuat akun LinkedIn di 2012, untuk mulai aktif di pertengahan 2017.
Mengapa saya tiba-tiba aktif di LinkedIn? Sebenarnya lebih karena realitas karir saya yang tidak stabil dan tidak mudah dijalani. Beberapa kali saya harus bertemu dulu dengan perusahaan atau atasan yang pada akhirnya saya dapati tidak cocok dalam hal value, prinsip, dan cara kerjanya.
Awalnya saya hanya ingin “menumpahkan” kekesalan saya saja terhadap sistem ketenagakerjaan & kultur rekrutmen di Indonesia. Namun dalam waktu singkat, aktivitas yang saya bangun di LinkedIn mendapatkan engagement tinggi bersama netizen lainnya.
Karakter konten maupun komunikasi yang saya paparkan pun bergeser, dari yang tadinya perihal kekesalan saya tersebut, menjadi konten-konten yang lebih inspiratif, melalui metode Storytelling.
Jika kita lihat bagan demografi audience yang saya paparkan, di setiap tingkatan piramida tersebut saya pisahkan dengan garis putus-putus. Itu menandakan bahwa sebenarnya pengelompokkan tersebut bukanlah hirarki atau pembatasan eksak, melainkan sesuatu yang cair dan dinamis. Kita dapat menjadi atau dapat berkomunikasi dengan kelompok mana pun di piramida tersebut.
Selain itu saya juga bermaksud mengingatkan, bahwa walaupun piramida ilustrasi tersebut tampak vertikal, namun sesungguhnya tidak ada satu orang atau satu kelompok pun yang derajatnya lebih tinggi dari yang lainnya. Ilustrasi ini hanya sebagai sketsa pemetaan semata.
Satu hal yang harus kita ingat bersama, bersama mereka yang ada di kelompok Enabler, Rekruter, maupun Final Decision Maker jelas membutuhkan metode dan kualitas komunikasi yang berbeda. Dengan menentukan seperti apakah kualitas interaksi yang akan kita hadirkan bersama netizen, siapa pun tanpa kecuali, dapat memiliki dan membangun akses bahkan hingga ke Kelompok 1%.
Setelah saya menyadari adanya demografi audience semacam ini di LinkedIn, saya mengubah tone dan karakter komunikasi saya di LinkedIn. Setelah perubahan itu, terbukti, saya bisa mendapatkan penawaran menarik dari para Founder atau CEO perusahaan-perusahaan startup. Justru inilah sebenarnya tujuan saya, yaitu berkarir di startup. Saya yakin, experience ini dapat dialami juga oleh orang lain, jika membangun aktivitas di LinkedIn secara tepat.
Tiga Metode Komunikasi LinkedIn: Read-Write, Auditory, Visual, Kinestetik
Setelah kita memahami faktor “why” beserta anatomi audience LinkedIn, maka sebaiknya kita terlebih dahulu mengenali apa yang selama ini nyaman kita lakukan dalam berinteraksi di media sosial. Ada tiga jenis interaksi media sosial yang dapat saya simpulkan, berdasarkan gaya komunikasi kita selama ini:
-
Tekstual. Untuk membangun konten tekstual yang kuat, kita harus memiliki kompetensi atas konten yang kita bicarakan dalam teks tersebut. Jangan sampai kita berbicara tentang suatu hal yang bukan merupakan kompetensi kita. Selain akan dicap sebagai pembual, publik juga akan melihat kita sebagai “palugada” atau gado-gado, alias jack of all trades but master of none
Selain itu, dalam memaparkan kompetensi & hasil karya kita di LinkedIn, penting juga untuk membawakannya dalam konteks kebermanfaatan bagi sebanyak mungkin publik yang membacanya. Hanya dengan demikianlah, kita baru bisa mendapatkan tingkat engagement yang tinggi bersama banyak pemirsa.
Untuk format teks, LinkedIn menyediakan fungsi Posts maupun Articles (untuk tulisan yang lebih panjang). Untuk format berupa file PDF, juga dapat dipajang secara publik, dengan antar-muka yang nyaman untuk membacanya halaman per halaman. -
Gambar, foto, atau video. Konten-konten visual terbukti dapat menarik perhatian pemirsa. Namun jangan lupa bahwa netizen jarang tertarik dengan konten visual yang hanya kita pampang begitu saja. Agar lebih menarik dan menghidupkan diskusi, sangat disarankan agar di samping konten-konten visual tersebut, kita tambahkan juga opini atau insight berkualitas dari kita. Dengan demikian, kita akan terlihat sebagai pribadi yang memahami betul apa yang kita bagikan di LinkedIn. Bukan hanya sekedar “calo konten”.
-
Audio atau Podcast. Memang benar bahwa di LinkedIn belum ada fitur yang secara terdedikasi dapat menampilkan Podcast. Namun tentunya kita dapat lakukan itu di apps populer semacam Spotify atau platform-platform Podcast populer lainnya. Ini cocok bagi mereka yang lebih nyaman mengutarakan opini atau insight-nya berupa suara, namun malas berekspresi layaknya pembuatanrekaman klip video. LinkedIn dapat kita gunakan sebagai sarana membagikan tautan ke lokasi platform di mana Podcast itu berada.
Setelah kita memaksimalkan LinkedIn, maka tinggal tunggu waktu saja hingga tawaran project, tawaran pekerjaan, undangan seminar atau kopi darat, dan masih banyak kegiatan positif lainnya; akan dapat mengantarkan kita ke tujuan karir impian kita. Kegiatan kopi darat di dunia nyata terutama digemari oleh mereka yang termasuk kategori pembelajar kinestetik, alias suka dengan kegiatan fisik atau tatap-muka.
Memang benar bahwa LinkedIn dapat juga dipergunakan untuk sekedar mencari kerja, misalnya lewat fitur LinkedIn Jobs, atau lewat Company Page masing-masing perusahaan. Namun ternyata LinkedIn merupakan media sosial yang jauh lebih powerful dari sekedar Job Portal semata, jika kita memahami esensi dan anatominya. Kita bisa mengalami lompatan karir yang tak terduga, berkat membangun komunikasi terbaik dan kebersamaan di LinkedIn.
Karena peniti karir terbaik di masa depan, adalah bukan saja mereka yang memiliki karakter terbaik dan kompetensi jempolan, melainkan juga mereka yang mahir membangun Personal Brand yang mewujud lewat kualitas komunikasi publik, alias Digital Self-Marketer.
Optimalkan Pencarian Kandidat Berkualitas Melalui Social Recruitment Bersama Kalibrr
Meskipun LinkedIn menawarkan kesempatan yang luas untuk peniti karir dan Rekruter, tapi kenyataannya banyak Rekruter yang belum terlalu aktif menggunakan LinkedIn untuk menjaring kandidat yang pasif (Kelompok Silent). Harus kita akui bersama, tidak semua orang bisa nyaman dengan dirinya sendiri, membangun aktivitas secara konsisten di LinkedIn. Namun kita semua yakin bahwa realitas ini dapat diatas dengan teknologi dari Kalibrr Indonesia.
Masih banyak Rekruter yang lebih memilih untuk menyeleksi kandidat hanya berdasar mereka yang telah melamar saja ke job portal atau portal karir perusahaan, dan biasanya hal ini disebabkan karena alasan beban kerja para Rekruter yang belum memungkinkan untuk menjelajahi talenta pasif melalui LinkedIn
Jangan khawatir, karena Kalibrr Indonesia memiliki layanan Social Recruitment. Didukung oleh tim rekrutmen yang handal, Kalibrr dapat menjangkau berbagai kelompok kandidat, termasuk diantaranya kandidat pasif yang ada di LinkedIn Layanan Social Recruitment memungkinkan Anda menemukan kandidat terbaik dengan lebih cepat, seperti apa pun jenis & kelompok kandidat yang dihadapi.
Jadi, tunggu apalagi… mari jadikan Kalibrr sebagai partner rekrutmen Anda, dan bawalah proses rekrutmen perusahaan Anda ke tingkatan yang lebih tinggi! Jangan lupa, Kalibrr Indonesia juga nongkrong di LinkedIn lho… Maka pastikanlah kita membangun aktivitas se-positif mungkin di LinkedIn. Kita tidak pernah tahu, kapan tim Kalibrr Indonesia melihat semua potensi kita, dan menawarkan kita sesuatu yang tak terduga.
Belum ada komentar yang tersedia!